Moh Samsul Arifin
Mencemaskan sekali cara berpolitik tokoh dan aktivis partai di negeri ini. Selain disetir pragmatisme, simbol-simbol agama masih saja dieksploitasi. Yang terakhir jilbab. Kain penutup kepala perempuan Muslim itu masuk panggung politik. Jilbab dikaitkan dengan politik karena dianggapkan bakal menggiring pendukung parpol atau massa Islam untuk mencontreng pasangan calon tertentu dalam pemilihan presiden/wakil presiden.
Kendatipun bukan melekat pada kontestan, jilbab dipandang akan menyetir ke mana arah suara pendukung Partai Keadilan Sejahtera [PKS] yang memang relatif “fanatis” terhadap simbol-simbol agama.
Dan inilah pernyataan yang mengejutkan itu. “Kalau mau jujur sebagian kader PKS hatinya masih mengarah pada JK-Wiranto karena alasan istri dari kedua pasangan ini sangat sederhana dan berjiblab,” ujar Zulkieflimansyah. Inilah yang masih kata Zulkieflimansyah—merujuk pada survei internal PKS—telah membuat tingkat keterpilihan SBY-Boediono dan JK-Wiranto hanya berselisih 10 persen. Dengan kata lain politisi yang pernah membidik kursi Gubernur Banten ini ingin mengatakan di mata pendukung PKS, tingkat keterpilihan SBY menurun dan JK merambat naik.
Lebih jauh kolega Zul, Mahfudz Siddiq berujar, “Memang (penampilan) istri JK dan Wiranto bagus (baca: menggunakan jilbab). PKS bisa saja menyarankan Ibu Ani dan istri Boediono memakai kerudung,” ujarnya seperti dikutip Indo.Pos (27 Mei 2009). Cara ini dinilai akan mengarahkan kader dan simpatisan PKS untuk mencontreng SBY-Boediono, 8 Juli mendatang.
Saya tak tahu apa kepentingan PKS mewacana jilbab jelang Pilpres ini. Publik menerka PKS sedang menghitung ulang dukungannya pada SBY-Boediono, melakukan bargaining terhadap incumbent atau sekadar meneruskan kegelisahan massa pendukungnya. Yang jelas ada yang kontradiktif di sini. Pertama, bagi perempuan Muslim jilbab adalah hal yang substantif. Bentuk ketaatan pada sang Khalik untuk menjaga kehormatan di muka umum. Dan kedua PKS adalah partai berideologi Islam yang seharusnya menjauhi politik citra yang superfisial. Sayangnya partai tarbiyah ini terperangkap pada simbol. Sangat beralasan jika pihak-pihak kritis terhadap PKS menyebut praktik politik ini sebagai upaya PKS memformalkan agama.
Dalam kerangka politik modern penggunaan simbol-simbol agama untuk menarik simpati calon pemilih sesungguhnya tidak mencerdaskan. Ini bisa menyeret publik pada stigmatisasi yang tak perlu terhadap pihak-pihak yang jadi korban atau dikorbankan. Seorang perempuan Muslim disebut baik atau saleh tak bisa disederhanakan dengan jilbab atau kerudung dalam tradisi Muslim moderat ala NU dan Muhammadiyah.
Perdebatan soal ini akan sampai pada wilayah teologis, karena umat Islam berbeda pandangan tentang jilbab ini. Sebagian kalangan menyebut jilbab adalah budaya atau merupakan tafsir atas teks Al Quran. Tapi sebagian lagi menerima jilbab sebagai perangkat yang sudah jadi. Artinya turun dari teks suci dan berlaku wajib bagi perempuan Muslim. Bagi perspektif ini tak memakai jilbab [ini pun masih debatable bentuk seperti apa yang diperintahkan teks itu?] berarti melanggar perintah agama.
Menurut Nasaruddin Umar [2002], jilbab berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.
Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hijab Hanya saja pergeseran makna hijab dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke-4 H.
Sebelum fenomena jilbab menyeruak tahun 1990-an silam, perempuan Muslim di Indonesia lebih banyak menggunakan kerudung untuk menutupi aurat sebagai tafsir atas perintah Al Quran. Berkerudung sudah dianggap cukup bagi kalangan perempuan Muslim NU dan Muhammadiyah. Namun jilbab belakangan kian menggantikan kerudung karena perbedaan tafsir atas apa yang disebut aurat bagi perempuan Muslim.
Begitulah…saking dahsyatnya fenomena jilbab. Budayawan Emha Ainun Nadjib pernah mengabadikannya dalam pentas bernama “Lautan Jilbab” yang digelar di Yogyakarta, Surabaya, Makassar dan lain-lain pada 1990. Cak Nun pun bersyair:
“Jilbab adalah keberanian di tengah hari-hari sangat menakutkan. Jilbab adalah percikan cahaya di tengah-tengah kegelapan. Jilbab adalah kejujuran di tengah kelicikan. Jilbab adalah kelembutan di tengah kekasaran dan kebrutalan. Jilbab adalah kebersahajaan di tengah kemunafikan. Jillbab adalah perlindungan di tengah sergapan-sergapan”.
Ini menjadi semacam deklarasi dukungannya atas keputusan perempuan Muslim memilih untuk menutup auratnya. Begitu pun, Cak Nun tak menjadi fanatik. Nakhoda Kiai Kanjeng ini bahkan tak mewajibkan perempuan yang lantas diperistrinya [Novia Kolopaking] untuk berjilbab. Ia menyerahkan hal tersebut pada sang istri. Cak Nun, sebagaimana juga Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid ingin mengajarkan pada Muslim Indonesia bahwa beragama harus substantif. Sesuatu yang formal tidak pasti yang menjadi substansi dari perintah agama.
Buat saya sebagai mesin elektoral PKS telah membuktikan sebagai parpol yang menjanjikan. Terbukti raihan suaranya meningkat dari Pemilu 1999 hingga 2009. Tapi PKS kini “turun pangkat” karena kembali menonjolkan sisi-sisi simbolik agama. Dan ini membuat saya cemas. Jangan-jangan poin yang ditonjolkan dalam buku “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia” [2009] benar adanya? Dalam buku tersebut diudar misi terselubung partai ini untuk mendirikan negara Islam di tanah air.
Ihwal ini segala sesuatunya telah terang. Perdebatan negara Islam tidak relevan lagi, baik dikaitkan dengan NKRI atau tata kelola negara modern. Syariat Islam wajib memandu dan karenanya berlaku bagi setiap Muslim di tataran privat. Suatu yang publik seperti negara [state] tidak ikut serta. Baiklah saya kutip dokumen keputusan PBNU saat menyelenggarakan forum Bahtsul Masa’il, November 2007. Salah satunya menegaskan, “tidak ada nash [teks] dalam Al Quran yang mendasari gagasan tentang negara Islam atau perlunya mendirikan negara Islam. Negara Islam atau Khilafah Islamiyah sepenuhnya adalah ijtihadiyah atau interpretasi Islam”.
Saya berharap hasrat-hasrat seperti itu dapat digugurkan. Karena saya tak pernah bermimpi Indonesia akan jadi negeri mirip Afganistan di masa Taliban yang diceritakan Khaled Hosseini dalam The Kite Runner.
Sumber : Liputan 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar