Apa artinya? Menurut pemahaman saya (belum sempat membuka kamus), seorang yang pragmatis adalah orang yang melakukan sesuatu demi mencapai tujuan-tujuan praktis (biasanya jangka pendek). Kata pragmatis biasanya sering dilawankan dengan kata idealis. Istilah ini sering digelarkan kepada orang-orang yang ‘kekuasaan oriented’. Karena itu kata ini punya konotasi negatif.
Saya, bukan orang yang anti-pragmatisme, dalam konteks tertentu. Justru tidak jarang pragmatisme ini membangkitkan semangat. Mengapa? Karena dengan ini, tujuan idealis yang biasanya abstrak itu berubah menjadi jelas, konkret, nyata, sehingga terukur. Ingat, motivasi itu lahir berkat jelasnya tujuan dan jelasnya jalan yang akan ditempuh.
Salah satunya, pragmatisme ini saya anut dalam kegiatan perkuliahan. Ceritanya begini. Idealnya, kuliah merupakan sarana kita mendapatkan ilmu, bukan nilai. Tetapi pada prakteknya, nilai menjadi lebih penting. Nilai lah parameter kesuksesan belajar seseorang. Nilai lah yang membuat orang diterima kerja. Nilai lah yang membuat ‘harga diri’ mahasiswa meninggi. Soal-soal ujian pun disusun tanpa berfungsi untuk mengeksplorasi kemampuan mahasiswa dalam menyerap ilmu, tetapi hanya untuk uji intelektualitas belaka (kata dosen favorit saya yang ngasih saya “A”). Bahkan tidak semua ilmu (baca: mata kuliah) kita butuhkan. Jadi, kuliah memang hanya untuk mencari nilai (dan gelar, tentu saja). Adapun ilmu bisa kita cari dengan cara lain.
Hanya saja, jangan sampai tujuan mencari ilmu (sebagai idealisme) kita abaikan. Pragmatisme yang kita anut jangan sampai melenceng dari rel-rel idealisme. Pragmatisme yang idealis, katakanlah seperti itu. Mengejar nilai memang harus, tetapi dalam mencari ilmu, kita harus lebih semangat. Mengerjakan TA harus semangat!!! Karena ilmu itu lah yang lebih banyak terpakai dalam mewujudkan cita-cita kita. Dan nilai (serta gelar) bukanlah sesuatu yang urgent dalam proses pewujudan cita-cita hidup saya, melainkan untuk kebanggaan dan kepuasan belaka.
Dalam sebuah organisasi, visi dan misi adalah idealismenya. Sedangkan strategi dan program kerja adalah pragmatismenya. Capaian-capaian dan parameter keberhasilan sebuah program kerja harus terukur (measurable). Contoh parameter keberhasilan antara lain: berapa uang yang masuk kas karena program yang kita adakan, berapa anggota baru yang terekrut berkat program kita, berapa orang yang hadir pada program kita, berapa orang yang menyatakan dukungan pada program kita, dan seterusnya. Dan semestinya, strategi dan program kerja selaras dengan visi dan misi organisasi. Artinya pragmatisme itu masih dalam bingkai idealisme.
Dalam konteks demokrasi Indonesia, idealisme merupakan makanan yang lezat, memang. Tapi hanya bagi minoritas orang (yang cerdas saja). Mayoritas menganggapnya susah dicerna, sehingga tidak peduli. Oleh karena itu, menampilkan idealisme hanya akan menarik perhatian minoritas orang saja. Padahal dalam demokrasi, jumlah itu sangat penting.
Orang yang pragmatis? Organisasi yang pragmatis? Politisi yang pragmatis? Parpol yang pragmatis? Bagi saya tidak masalah. Sepanjang mereka punya sarana untuk menggigit idealismenya kuat-kuat. Nah, sarana itulah yang membedakan antara something yang pragmatis tulen dan yang pragmatis-idealis.
Wallahu a’lam bish shawab
Sumber :http://patriotproklamasi.blogspot.com
oke2
BalasHapus