Minggu, 28 Maret 2010

Ayu Utami: “Kenapa Agama Tak Membuat Orang Lebih Baik?”


Perempuan ini melihat moralitas berlebihan, bahkan sampai ke soal bahasa. Karena itu, novelnya ingin mendobrak tiga hal: seks, kegilaan, dan agama.

Ayu Utami, novelis yang sudah menelurkan tiga novel tersebut menemukan benang merah itu pada tiga novelnya. “Ternyata, tulisanku selalu bicara tentang tiga hal itu. Seks, kegilaan, dan agama.” Ayu, Rabu (5/8) siang, ada SCTV. Dia datang atas undangan Klub Buku dan Film SCTV, yang ingin mendengar dari Ayu sendiri, soal pikiran, renungan, dan proses kreatif ketiga novelnya.

Saman, yang diluncurkan pada 1998 sempat membuat heboh dunia sastra Indonesia. Di novel itu, Ayu dianggap terlalu berani. Dia mendobrak norma dan bicara hal yang masih tabu bagi sebagian besar orang Indonesia. Di novel itu, Ayu Utami bicara amat terbuka soal seks. Tak hanya berhenti di situ. Ayu masih terus menggebrak kemapanan di novel berikutnya, Larung dan Bilangan Fu.

Di Bilangan Fu, ada persoalan yang dengan masif ingin didobrak perempuan kelahiran Kota Hujan ini. Di antaranya, Ayu menggugat monotheisme dan militerisme. Apakah ini gambaran seorang Ayu Utami? Atau, dia hanya seorang pencerita yang sedang berkisah tentang orang lain sebagai sebuah fakta kehidupan?

“Apakah kau seorang pencari, pemberontak kemapanan yang sedang membongkar patriarki lelaki?”

“Apakah itu bagian inheren pemberontakanmu, mewakili kaum feminis?” tanya Samsul Arifin, anggota Klub Buku dan Film SCTV, kepada Ayu yang hari itu datang dengan “uniform”-nya, kaos tank top, celana panjang, dan syal tipis menutup lehernya.

Ayu menjawab serius tapi santai. “Orang bilang saya pendobrak. Tapi, saya bukan anti kemapanan,” kata Ayu. Sesekali pula ia mengeluarkan kata-kata lucu dan menggelitik, terutama bagi kaum lelaki, membuat diskusi yang diikuti sekitar 20 orang itu penuh tawa dan menyenangkan. “Kalau ada yang tidak adil, maka perlu dibicarakan. Dan, pemberontakan bukan tujuan utama saya.“ katanya. Sosok berambut sebahu ini mengaku tak sedang melompat “pagar”, karena sebenarnya dia tidak melihat adanya “pagar” di depannya.

Dari kecil, Ayu yang dididik dengan latar agama dan budaya yang kental melihat ada banyak ketidakadilan. Misalnya, untuk urusan bahasa. Saman, novel pertamanya yang mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta pada 1998 sebagai novel Roman Terbaik dan penghargaan dari Prince Claus Award 2000 dianggap mendobrak tabu karena menggunakan kata-kata kotor. “Latar belakangnya adalah adanya ketidakdilan pada perempuan. Di level bahasa salah satunya. Sebagai bangsa kita ingin tampak bermoral tapi melampaui batas, dan justru malah tak adil,” katanya.

Ia mencontohkan moralitas berlebihan itu salah satunya ada di kamus bahasa Indonesia karangan Purwadarminto terbitan era ‘70-an. Di itu, orgasme diterjemahkan menjadi kemarahan. Orgi dipaparkan sebagai sebuah pesta keagamaan. “Ini sopan santun yang membuat kita tersesat,” katanya. Ketidakadilan lainnya adalah penggunaan kata pelacur—yang supaya terdengar sopan—diganti dengan kata WTS atau wanita tuna susila. Padahal, menurut Ayu, justru sangat kasar terhadap kaum perempuan.

Ketidakadilan dan moralitas berlebihan sangat mengganggu Ayu. Ketika bisa bikin novel, lulusan Sastra Rusia Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1994 ini ingin membebaskan bahasa Indonesia dari moralitas berlebihan itu. Sekalian, tentunya menggugat banyaknya ketidakadilan pada perempuan. Pada Bilangan Fu, pendobrakan itu makin luas. Ayu juga menggugat fundamentalisme yang selama sepuluh tahun belakangan ini makin berlebihan.

Miko Toro, anggota Klub Buku dan Film SCTV lainnya masih penasaran. Bagi dia, pasti ada sebab yang membuat Ayu selalu bercerita tentang orgasme atau dengan kata lain selalu memasukkan persoalan seks, yang selalu vulgar.

Inilah jawaban Ayu, yang sekaligus mengulas pilihan dirinya untuk tidak menikah, setidaknya sampai saat ini. Menurut dia, buat laki-laki seks terlihat gampang: “Tapi bagi perempuan, problemnya lebih nyata sehingga harus lebh berani bicara soal seksualitasnya.” Fungsi seks perempuan dan lelaki berbeda. Perempuan bisa hamil meski tidak menikmati seks. Perempuan bisa diperkosa dengan gampang, sehingga dia harus tahu organ tubuhnya. Ironisnya, nilai-nilai di masyarakat seringkali membuat perempuan tak tahu dan tidak menguasai tubuhnya. Ada problem biologi dan kultural yang bisa diatasi dengan membuat perempuan lebih berani bicara mengenai tubuhnya.

“Apakah karena itu Anda tidak tidak mempercayai lembaga perkawinan?” tanya Daeng, peserta diskusi. Hmm, boleh jadi, inilah pertanyaan yang seringkali didengar seorang Ayu Utami.

“Saya bukan tidak mempercayai lembaga perkawinan. Pernikahan itu lembaga yang baik dan dibutuhkan untuk melindungi yang lemah: wanita dan anak-anak. Apalagi di negara yang belum melindungi perempuan dan anak-anak. Itu yang belum ada di Indonesia,” ujar Ayu serius. Perempuan lemah terutama ketika hamil, melahirkan dan menyusui. Dia harus keluar dari publik untuk sementara waktu sehingga harus dilindungi negara, sehingga perempuan tak punya pilihan selain mencari perlindungan pada keluarga inti dan suami. “Itu batasan pernikahan buat saya,” kata dia. Sementara di Skandinavia, perlindungan itu sudah diberikan kepada perempuan sebagai individu, tanpa merujuk status menikah atau tidak.

Jawaban Ayu cukup menarik untuk jadi perenungan. Tapi, aku lebih tertarik bertanya mengenai kualitas tulisan Ayu di tiga novelnya. Aku merasa ada penurunan kualitas bahasa, gaya penulisan, dan keindahan pada dua novelnya, yaitu Larung dan Bilangan Fu, dibanding Saman.

“Menurutku Saman itu justru strukturnya jelek banget, novel yang tidak selesai,” jawab Ayu. Novel itu dibuat Ayu untuk mengikuti sebuah perlombaan. Panjang ceritanya disesuaikan dengan syarat lomba. Tapi menyoal kelebihannya, Ayu mengatakan ada pada per bagian yang berhasil.

Bila memperbandingkannya, Saman adalah sebuah novel yang manis. Bilangan Fu tidak demikian. Saman dimulai dengan jatuh cinta: Laila jatuh cinta pada suami orang. Bilangan Fu bercerita tentang seorang lelaki pendaki bukit yang garang, tidak puitis. Karakter pencerita yang berbeda membuat Bilangan Fu tidak bisa terlalu puitis, meski kata Ayu, tidak seratus persen kehilangan puitisnya. Ada bagian ketika lelaki pendaki yang keras itu bercerita dengan indah dan lembut. “Karakter penceritanya berbeda, risiko itu saya ambil sehingga tidak terlalu puitis.”

Rupanya Miko Toro masih penasaran. Dia bertanya apakah semua tulisan Ayu itu hasil perenungan? Kalau ya, renungan seperti apa? Apakah soal agama semata, fundamentalisme, atau seks yang berkaitan dengan keduanya?

“Saya dulu sangat religius. Keluarga saya konservatif tapi membebaskan anaknya menikah dengan beda agama, asal tidak dengan komunis.” Hahaha… lucu juga. Di usia 20-an awal, Ayu mulai tak percaya agama. Alasannya, lebih banyak mudaratnya, patriakal, dan terkesan saling memusuhi antaragama. Ketika mahasiswa, ia bahkan memutuskan untuk menjadi seorang Agnostic.

Di usia 20-an akhir, ia mulai melihat agama dengan kacamata baru: sebuah kenyataan peradaban. Bergulat dengan semua itu, agama, ketidakadilan, moralitas berlebihan, Ayu akhirnya “terjebak” untuk selalu menulis tiga tema: seks, kegilaan, dan agama. Ia tak bisa memungkiri kalau bahasa Alkitab sangat berpengaruh pada dirinya. “Meski benci agama pada satu periode, tapi agama sudah batubata dalam diriku.” Itulah fakta sejarah yang tidak bisa dihilangkan Ayu Utami dalam dirinya.

Di level peradaban, meski berdarah-darah, Ayu tetap tak bisa memungkiri kalau agama juga membangun peradaban. Baginya, agama adalah energi yang bisa membuat orang mengasihi atau membunuh orang lain. Pembelaan kaum beragama yang mengatakan kesalahan tidak pada agamanya, tapi pada orang yang menafsirkannya, dianggap Ayu sah-sah saja. Hanya saja dia tetap belum mendapat jawaban: Kenapa harus ada agama, kalau tidak bisa mentransfer orang menjadi lebih baik?

Adakah yang bisa menjawab dan memuaskan seorang Ayu Utami?

Kamis, 6 Agustus 2009

Disarikan dari Diskusi Klub Buku dan Film SCTV

Leanika Tanjung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar